Sains dan Agama: Melawan Kejumudan Berpikir Sebagian Penganut Religius
Tulisan ini pengantar untuk tulisan lanjutan yang berjudul "Dapatkah Teori Evolusi Diakomodasi oleh Islam?". Jika tidak menyimak, Anda akan kebingungan dengan lanjutannya.
Jika alergi terhadap tulisan ini, sebaiknya di-skip saja. Jika bisa, silakan dibantah dengan argumen yang baik juga.
Kalau hanya belajar agama tanpa peduli dengan sains, maka segala hal akan ditarik menggunakan cara berpikir metafisis, bahkan untuk hal yang dapat diindera sekali pun. Walaupun terdapat "tanda alam semesta" di dalam kitab suci, bukan berarti ahli agama boleh menafsirkannya hanya dengan metode yang mereka pelajari. Karena hal tersebut harus dibuktikan secara saintifik/fisika melalui persamaan matematis. Menarik kesimpulan sains menggunakan paradigma metafisis hanya akan menunjukkan "wajah badut" di hadapan para saintis bahkan akan membuat atheis tambah berbangga dengan keputusannya menjadi atheis. Seperti menjelaskan bentuk bumi, ada beberapa ulama yang mengatakan bentuk bumi adalah datar. Pada akhirnya, saat agama tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan terhadap hal tersebut, maka yang keluar hanya bantahan dengan label kafir, sesat, heresh, bidat atau julukan lainnya. Itulah bentuk kejumudan dalam berpikir. Kejadian ini sudah dialami oleh para saintis di abad pertengahan eropa. Saat ini, sejarah tersebut berulang di negeri ini dan dialami oleh sebagian pemuka agama ini.
Berterima kasihlah pada dinasti Abbasiyah yang menerjemahkan buku-buku filsafat yunani (terutama Aristoteles yang beraliran realisme). Realisme secara umum dapat diartikan bahwa sesuatu akan tetap ada walaupun tidak ada yang mengakuinya. Misalnya, jin itu ada bukan karena kita mengakui bahwa dia ada, tapi karena memang dia benar-benar ada. Berkebalikan dengan aliran ini adalah Idealisme yang diusung oleh Plato, sesuatu ada karena diakui bahwa dia ada. Seperti halnya Tuhan itu ada karena diakui oleh manusia. Saat tidak ada manusia yang mengakui keberadaanNya, maka berarti Tuhan tidak ada.
Aliran Aristoteles inilah yang menjadi fungsi aktivasi ilmuwan muslim untuk mulai mencari seluk beluk penciptaan "tanda alam semesta" yang terdapat dalam kitab suci. Mereka mulai meneliti tentang bintang, membuat globe, penciptaan manusia, kedokteran dan lain sebagainya. Sayangnya, filsafat tersebut digunakan secara overdosis, sehingga masuk ke dalam ranah akidah. Para filsuf ini disebut dengan Ahli kalam (mutakallimin).
Kita harus memahami bahwa fakta yang terindera adalah kebenaran mutlak. Seperti halnya mengatakan menara Eiffel ada di Paris. Jika ada kitab suci yang menyatakan sebaliknya, maka dapat dipastikan bahwa kitab suci tersebut bukan berasal dari Tuhan, karena Tuhan maha benar dan maha mengetahui segalanya. Tidak mungkin Tuhan memberikan informasi salah pada umatNya.
Karenanya, kitab suci harus memuat kebenaran mutlak, baik dari segi metafisis ataupun fisis. Segi metafisis seperti mukjizat. Mukjizat itu dapat diterima logika karena Tuhan mampu melakukan apapun dengan cara apapun selama hal itu mungkin (possible) secara logika. Sedangkan dari segi fisis seperti penciptaan alam semesta yang dapat diukur dengan persamaan matematis. Saat kitab suci mengatakan tahapan penciptaan manusia, maka itu harus sesuai dengan fakta yang terjadi di dalam bidang kedokteran. Tidak boleh berbeda. Hal ini bukan berarti memaksakan kehendak agama terhadap sains, namun justru untuk membuktikan kebenaran kitab suci tersebut apakah sudah sesuai dengan fakta atau tidak. Ini yang harus dipahami karena pada tulisan sebelumnya ada yang tidak memahami konteks kalimat dengan baik sehingga menuduh saya mengingkari kitab suci atas nama sains.
Begitupun dengan biodiversitas pada makhluk hidup. Keanekaragaman kehidupan saat ini baik dari sisi tumbuhan, hewan maupun manusia dapat dijelaskan asal usulnya dengan sains. Teori evolusi yang dahulu hanya teori, saat ini mulai mendapatkan titik terangnya karena terdapat teknologi yang mampu mengumpulkan informasi lebih banyak dan mendalam, seperti struktur DNA manusia yang masih menyimpan jejak manusia purba dalam dirinya. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Karena fakta adalah kebenaran absolut. Lantas jika seperti ini, bagaimana Islam (yang sering dikabarkan bahwa Adam adalah manusia pertama) dapat mengakomodir teori tersebut?
Jika para religius hanya membantah Atheis dengan menuduh mereka kafir, sesat, malas ibadah, itu tidak akan membuat mereka meninggalkan keyakinannya. Dalam Alquran dijelaskan bahwa:
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Ibrahim Ayat 4).
Kita disuruh mengajak dengan bahasa kaumnya. Jika bahasa para atheis adalah bahasa sains, maka berbantahlah dengan mereka menggunakan sains, bukan dengan label-label negatif khas agama. Karena istilah-istilah tersebut tentu saja tidak berlaku bagi mereka.