Algoritma Mazhab
Oleh: Irwansyah Saputra
Di zaman ini makin banyak orang yang bilang “ikut nabi atau ikut imam syafii?”
Itu sebenarnya kalimat konyol yang muncul dari kebodohan tak terbatas. Karena yang namanya ulama itu pewaris nabi, maka sudah pasti saat mengikuti imam syafii otomatis mengikuti nabi, karena ajaran yang dibawa oleh imam syafii adalah ajaran nabi.
Masalahnya adalah manusia terkadang susah membedakan antara “belum tentu benar” dengan “mendekati kebenaran”. Sering kali ada dalih yang mengatakan “loh para imam mazhab juga kan manusia, belum tentu benar.” Sebenarnya tinggal dijawab “ya bener, imam mazhab bisa jadi salah, apa lagi elu”. Artinya, dalam level ilmu, orang tersebut belum ada apa2 nya dengan imam mazhab. Berarti level itu menandakan adanya rentang antara dirinya dengan kebenaran.
Para imam mazhab itu bukanlah “belum tentu benar”, namun seberapa dekat mereka dengan kebenaran. Jika kebenaran ada di level 10, maka para imam mazhab itu berlomba-lomba merumuskan hukum dari dalil quran dan hadits untuk semakin dekat dengan kebenaran itu sesuai dengan ajaran nabi. Para imam mazhab ini mencoba untuk menggali atribut apa saja yang harus digunakan dalam merumuskan dalil. Secara mudah kita bisa analogikan ini dengan kasus dalam bidang machine learning.
Misalnya, saat kita ingin membuat model komputasi untuk memprediksi mahasiswa akan mendapat beasiswa atau tidak, maka kita butuh data pendukung/atribut/fitur apa saja yang digunakan untuk menentukan hal tersebut. Misalnya atribut IPK beberapa semester, penghasilan orang tua, jarak dari rumah ke kampus, tanggungan biaya, dan atribut yang lainnya. Jika ada atribut yang tidak ada hubungannya dengan penerimaan beasiswa, seperti atribut zodiak, makanan favorit, minuman favorit maka tidak boleh dijadikan atribut untuk kegiatan tersebut. Semakin berpengaruh atribut yang digunakan, maka model akan semakin mendekati kebenaran. Dekat dengan kebenaran secara umum dapat diukur dengan akurasi. Akurasi adalah ketepatan model dalam memprediksi nilai yang sebenarnya. Contohnya model yang dihasilkan punya akurasi 90%, artinya adalah dari 10 orang yang seharusnya mendapatkan beasiswa maka model akan memprediksi 9 orang mendapatkan beasiswa (prediksi benar) dan 1 orang tidak mendapatkan beasiswa (salah prediksi).
Untuk mengetahui atribut paling berpengaruh hingga tidak berpengaruh, bisa menggunakan algoritma tertentu seperti information gain. Karena jika kita memiliki banyak atribut seperti ada 1000 atribut, kita tidak bisa memilih satu persatu atribut dan mencari tahu apakah atribut tersebut berpengaruh dalam menentukan beasiswa atau tidak. Sehingga dengan cara menggunakan algoritma tadi, kita bisa merangking atribut tadi dan memangkasnya sesuai kebutuhan. Misalnya kita hanya mengambil 10 atribut teratas. Atau 15 atribut, atau berapa saja yang diinginkan.
Setelah jelas terkait hal tersebut, para imam mazhab pun melakukan hal yang sama dalam melakukan modelling. Perbedaannya adalah data yang digunakan para imam mazhab ini adalah seperti quran dan hadits. Namun selain keduanya, masih ada atribut lain yang digunakan untuk merumuskan hukum. Imam syafii memilih 4 atribut utama dalam melakukan modelling, yaitu alquran, hadits, ijma ulama dan qiyas. Sedangkan imam malik memilih atribut seperti alquran, hadits, ijma ulama madinah, qiyas, perilaku ahli madinah, mashalah mursalah, fatwa sahabat, khabar ahad dan qiyas, istihsan, saddu al dzara’i, istishab, syaru man qoblana. Imam mazhab lain punya atribut juga yang berbeda dalam melakukan modelling.
Hasil dari modelling itu adalah rumusan hukum seperti fiqih. Akurasi dari hasil tersebut bisa saja berbeda-beda antara satu imam mazhab dengan imam mazhab yang lain. Banyaknya atribut tidak menandakan bahwa akan tingginya akurasi juga. Asalkan atribut yang digunakan adalah sangat berpengaruh, maka tidak ada masalah walaupun yang digunakan adalah atribut yang sangat sedikit, seperti imam syafii yang hanya menggunakan 4 atribut saja.
Jika seperti itu, mana yang mendekati kebenaran? Semuanya mendekati kebenaran karena melakukan rumusan hukum sesuai metode yang sudah diajarkan oleh nabi dan para sahabat. Namun “dekat dengan kebenaran” nya memiliki akurasi yang berbeda. Bisa saja imam syafii akurasinya 95%, imam malik 94% dan lain sebagainya. Mungkin ada yang bilang “kalo begitu berarti ada kemungkinan 5% imam mazhab salah dong”. Ya memang betul. Karenanya ada ungkapan yang mengatakan jika imam mazhab merumuskan dalil dan hasilnya benar maka akan mendapatkan dua pahala, jika salah akan mendapatkan satu pahala.
Model yang sudah dicetuskan oleh para imam mazhab itu adanya di level ushul fiqih, sedangkan hasil rumusannya adalah di ranah fiqih. Karena setiap imam mazhab punya model yang berbeda, maka tidak berhak kita mencampuradukkan model yang sudah ada itu.
“bukankah kalo kita campurkan model, bisa saja jadi lebih baik?”, seharusnya bukan dicampurkan, namun untuk menaikkan akurasi bisa dilakukan metode boosting. Metode boosting biasa dilakukan oleh para imam mujtahid mazhab. Jika dalam mazhab syafii, imam mujtahid mazhab adalah imam nawawi, imam rafi’i. Para imam tersebutlah yang melakukan boosting terhadap model yang dicetuskan imam syafii agar akurasinya semakin mendekati kebenaran. Bisa saja yang tadinya punya akurasi 95% menjadi 97% setelah proses boosting.
Contoh boosting misalnya dalam mazhab syafii ada yang disebut dengan qoul qodim dan qoul jadid. qoul qodim adalah fatwa2 imam syafii sebelum di mesir, qoul jadid adalah pendapat imam setelah di mesir. terkadang qoul jadid dan qoul qodim ada perbedaan. Misalnya, kasus waktu magrib. menurut qoul qodim waktu magrib itu sejak terbenam matahari hingga hilang awan merah atau syafaq.
Sedangkan menurut qoul jadid, waktu magrib itu seperti yang dijelaskan dalam kitab fathul qarib. waktu Maghrib itu hanya sebentar sejak terbenam matahari. jadi saat kita sudah melakukan shalat seukuran itu, maka artinya isya sudah datang. Pendapat ini masih dipakai di yaman.
Nah karena adanya perbedaan pendapat tersebut, harus dicek mana yang lebih mendekati kebenaran. Maka diboosting oleh imam mujtahid mazhab seperti imam nawawi untuk menyeleksi pendapat yang lebih rajih (kuat) untuk dijadikan sandaran. Imam nawawi menguatkan pendapat dari qoul qodim dibandingkan qoul jadid.
Mungkin sampai sini saja dulu agar tidak kepanjangan. Semoga bermanfaat.