Referensi Primer, Sekunder dan Tersier

Kehidupan Jun 28, 2020

Gini bro... Yang gw pahami, ada tiga jenis referensi yaitu primer, sekunder, tersier. Referensi primer itu lu langsung ngerujuk ke sumbernya. Misalnya waktu lu nyari hukumnya solat berjemaah, lu langsung nyari dalilnya ke Alquran dan Hadits. Level ini paling keren, karena ga semua orang bisa sampe. Ada referensi sekunder, kalo lu nyari hukumnya solat berjemaah, lu nyari kitab ulama yang bahas tentang itu, misal di kitab anu hukumnya wajib, di kitab anu hukumnya sunnah dll. Kalo referensi tersier, lu cuma nukil pendapat dari ustadz lu yang beliau nukil dari kitab. Misalnya lu nanya ke ustadz "pak ustadz, apa hukumnya sholat berjemaah?", ustadz jawab hukumnya sunnah menurut kitab anu, wajib menurut kitab anu. Kita mengiyakan tanpa mengecek kitab tersebut, jadi kita bersandar pada ucapan ustadz tersebut. Begitu juga saat lu nyari hukum di website, itu juga sama dengan referensi tersier. Di website tersebut dijelaskan kitabnya, tapi kita ga rujuk langsung ke kitab-kitab tersebut.

Referensi primer itu digunakan oleh mujtahid mutlak (imam mazhab) yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ga semua orang bisa sampe derajat ini, even para sahabat Rasulullah pun ga semuanya sampe.

Referensi sekunder itu digunakan oleh para pelajar, karena mengasah diri untuk menelaah masalah dan jawabannya dari berbagai pandangan para ulama salaf (terdahulu) atau khalaf (kontemporer).

Referensi tersier itu digunakan oleh orang awam, yang penting dapet jawaban. Jadi mazhabnya orang awam bukanlah Syafiiyah atau yang lainnya, tapi mazhab mereka adalah gurunya. Pada siapa dia bertanya, maka itulah mazhabnya. Dan ini boleh aja ga ada masalah.

Nah... kebetulan gw pernah numpang tidur di pesantren basis NU beberapa tahun. Di tradisi NU, kita biasa jawab pertanyaan juga dengan referensi sekunder. Misal ditanya hukumnya mengusap leher saat wudhu, kita langsung buka beberapa kitab. Ambil contoh kalo di kitab bidayatul hidayah Imam Al Ghazali hukumnya sunnah, kalo di kitab fathul mu'in hukumnya bid'ah artinya ga boleh dilakukan. Kita jarang banget merujuk suatu masalah langsung dari dalil alquran dan hadits. Mungkin ada beberapa kitab yang mencantumkan dalil alquran dan hadits saat membahas suatu hukum, seperti kitab sulamut taufiq. Tapi banyaknya kitab fiqih itu ga cantumin dalilnya. Kenapa kah bisa begitu?

Gini... gw kasih penjelasan secara kaidah ilmiah. Kita pake analogi kisah yang mirip dengan itu. Saat newton belum merumuskan hukum gravitasi, kira-kira gaya gravitasi udah ada belum? apakah saat newton belum merumuskannya, kita masih beterbangan? Engga kan? Gaya gravitasi udah ada walaupun newton belum merumuskan hukumnya. Trus kenapa skrg kita pake hukum gravitasi ala newton? kenapa ga pake hukum gravitasi masing-masing? Bukankah kita semua mengalami gravitasi? Jawabannya adalah karena ga semua orang bisa menangkap fenomena itu dan ga semua orang mampu merumuskannya menjadi suatu teori, kemudian teori itu diuji hingga menjadi suatu hukum. Akhirnya, para pelajar itu cuma bisa mengikuti hukum yang udah dirumuskan oleh Newton. Para guru mungkin bisa ngajarin muridnya hukum newton, tapi ga semua guru fisika bisa tau asal-usul rumus tersebut. Yang bisa tau, kalo udah setingkat professor bidang fisika.

Begitu juga dalam dunia keilmuan Islam, ga semuanya bisa menangkap maksud yang ada pada dalil alquran dan hadits. Hanya para imam mazhab (mujtahid) yang bisa ngelakuin itu. Mereka yang merumuskan dalil-dalil yang ada menjadi 5 dasar hukum buat kita, yaitu wajib, sunnah, boleh, makruh, haram. Contohnya, ada hadits yang melarang minum berdiri. Kita ga tau kan larangan tersebut itu sifatnya makruh atau haram. Begitu juga saat ada perintah pada dalil tersebut, kita ga tau perintah itu hukumnya wajib atau sunnah. Ini kerjaannya para imam mazhab tadi. Para kyai kita seperti guru-guru fisika tadi. Bukan karena bodoh, justru karena hal seperti inilah yang ilmiah untuk dilakukan.

Zaman ini banyak ustad yang nyuruh kita kembali ke alquran dan hadits. Merumuskan langsung dalil dari alquran dan hadits. Akhirnya banyak yang salah. Kemaren ada yang bilang lagu balonku haram, naik ke puncak gunung itu kristenisasi, kotoran dari hewan yang suci adalah hukumnya suci. Banyak salahnya. Kenapa bisa seperti itu? karena bukan kapasitas mereka menjadi imam mazhab tapi malah sok tau langsung merujuk ke alquran dan hadits.

Ada juga ustad yang kalo ditanya hukum, langsung jawab "kalo di alquran ayatnya ini, haditsnya ini", keliatannya keren kan? Tapi justru yang kaya gini ga ilmiah jawabannya.

Yang ilmiah itu lu kasih referensi dari kitab ulama mana. Sama halnya lu lagi skripsian, di bab 2 pasti ada landasan teori yang merujuk pada berbagai literatur ilmiah, seperti buku atau kitab dari orang lain yang mumpuni pada bidang tersebut. Coba aja bikin skripsi trus landasan teorinya lu ga pake referensi, kalo gw jadi penguji bakal gw lempar ke mukanya. Ga ada akhlak.

Jadi, menurut gw tradisi NU ini paling aman, ilmiah, rendah hati. Kalo ada yang ga mau ikut juga ya gapapa. Minimal udh gw jelasin kenapa gw selalu ngasih referensi dari NU.

Irwansyah Saputra

Belajar itu harus. Pintar itu bonus.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.