Perbedaan Dalil dan Hukum

Agama Apr 14, 2020

Oleh: Irwansyah Saputra, S.Kom., M.Kom.

Gw tetep baca Qur'an walaupun ga ngerti, karena bernilai ibadah. Tapi bukan untuk diajarkan kepada orang lain begitu aja.

Al-Qur'an memang sumber hukum (dalil), karenanya butuh alat dan metode yg tepat untuk mencapai sumber tersebut, tidak bisa sembarang orang melakukannya.

Saat kita belajar hukum Newton, pernahkah kita bertanya "apa dalilnya rumus gravitasi?". Kita semua tau fenomena gravitasi yg dialami oleh Newton juga dialami oleh kita. Tapi kenapa hanya Newton yg menangkap fenomena itu dan menerjemahkannya menjadi hukum (rumus matematis)? Karena dia punya kapasitas untuk itu.

Sehingga, kita yg bodoh ini tau diri, saat belajar hukum Newton, kita akan menelan mentah2 rumus tersebut tanpa bertanya dari mana asalnya. Kenapa? Karena kita percaya dia seorang ahli ilmu dalam hal ini fisika. Yg seperti ini namanya taklid.

Lantas kapan kita bisa menelaah asal mula rumus tersebut? Setelah kita belajar yg banyak, meneliti, dan memiliki cukup pengetahuan untuk hal tersebut. Itu pun tidak semua orang bisa mencapai derajat yg sama walaupun sudah berusaha keras, karena saking sulitnya.

Begitu juga perkara agama ini. Banyak masyarakat awam saat ini yg mulai tidak beradab dengan bertanya
"pak ustadz, apa dalilnya sholat di tengah jalan?"

Pertanyaan tersebut itu sungguh tidak beradab. Karena menanyakan dalil itu tugasnya para ulama, para peneliti, bukan orang awam.

Tugas orang awam adalah bertanya hukum suatu keadaan bukan dalilnya. Seperti
"Pak ustadz, apa hukumnya solat di tengah jalan?"

Cukup bagi orang awam mengetahui hukum tersebut walaupun tidak disertai dgn dalilnya dgn syarat yg mengeluarkan hukum tsb adalah orang yg kredibel, dalam hal ini tentunya adalah para imam Mazhab. Kenapa? Karena hukum itu bersifat praktis, langsung pakai. Sedangkan dalil, harus diolah dulu dgn metodologi yang akan memakan waktu sangat panjang sampai akhirnya muncul hukum tersebut, bisa jadi wajib, Sunnah, makruh, mubah, atau haram.

Kalau mau dalil, belajar dulu alat2 yg mendukung untuk dapat memahami sumbernya. Seperti ilmu nahwu, shorof, balaghoh, mantiq, nasikh mansukh, kaidah fiqih, ushul fiqih, asbabun nuzul, asbabul wurud, masih banyak lagi.

Kalau hanya sekedar baca terjemah Qur'an atau hadits lalu auto menyimpulkan hukum dari situ, justru sangat bahaya. Mungkin seakan2 hal tersebut keren, karena ustadz itu kalo ceramah langsung bersumber kepada Al-Qur'an dan hadits (makanya banyak orang awam yg terkagum2 dgn kajian wahabi di Indonesia), padahal itu perbuatan yg ngaco sengaco2nya. Itu sama aja dengan bikin skripsi tanpa metodologi, tanpa referensi penelitian orang lain, tanpa daftar pustaka, langsung ke pembahasan.

Jadi, sebagai pelajar kita harus tau diri. Kalau bahasa Arab masih ana antum, akhi ukhti, abi umi, ga usah sok:
- nanya dalil
- bikin kajian tafsir pake terjemah
- ngisi kajian langsung dgn kitab matan hadits
- ga pake kitab hukum praktis
- hal bodoh lainnya. Intinya harus tau diri.

Irwansyah Saputra

Belajar itu harus. Pintar itu bonus.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.