Paradigma Perceraian

Kehidupan Feb 08, 2021

Saya ingin membuka paradigma berpikir tentang perceraian.

Ada kasus: suaminya ga ada guna. Tiap hari maen game online, ga kerja, istrinya yang nyari nafkah, anaknya masih bayi, ngontrak, biaya hidup sehari-hari dari istrinya.

Apakah keadaan seperti itu masih bisa dikatakan rumah tangga hanya karena ada ikatan ijab kabul saja? Apakah pernikahan sesakral itu hingga harus mengorbankan semua yang dimiliki sang istri hanya untuk kehidupan orang lain yang sangat merugikan dirinya?

Bukankah setiap manusia berhak untuk bahagia?

Jika sang istri sering berdoa "berikanlah saya kehidupan yang layak, suami yang baik dan penyayang", lantas apakah doanya sudah terkabul?

Pernahkah kita sadari bahwa terkadang doa itu sudah terkabul, namun kita yang tidak tau dan tidak paham? Sebenarnya doa sang istri sudah terkabul dengan sendirinya saat ia bercerai. Minimal setengah doa itu sudah terkabul. Karena bagaimana mungkin ia akan mendapatkan suami yang ia harapkan sedangkan saat ini ia masih bersama lelaki sampah yang jadi parasit di hidupnya?

Saat ia bercerai, justru itu adalah awal peluang datangnya orang yang lebih baik dalam kehidupannya.

Perceraian hanyalah satu kegiatan yang mungkin saja terjadi dalam kehidupan. Tidak ada sesuatu yang harus dijadikan beban kehidupan dengan menyandang sebutan janda, duda atau yang sejenisnya.

Kehidupan yang baik milik semua orang, tidak boleh lagi ada orang yang harus mengorbankan dirinya hanya untuk demi kepuasan hidup orang lain.

Hidup ini hanya sekali saja... Tidakkah lelah mengikuti semua keinginan manusia?

Irwansyah Saputra

Belajar itu harus. Pintar itu bonus.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.