Nalar Itu Memahami, Rasa Itu Menghakimi

Kehidupan Jun 28, 2020

Kalo kalian ikutin tulisan gw, sungguh sangat jarang sekali gw bikin tema yang sifatnya lebih ke perasaan. Misalnya tentang kepribadian dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Itu karena gw ga mau membangun opini yang akan dijadikan landasan kalian dalam berargumen, gw juga ga mau membangun audiens yang lebih mengunggulkan perasaannya dibanding pemikirannya.

Gw ga mau hasil atau output pembaca adalah "iya, harusnya kalo jadi cewek tuh blablabla"

"Iya, cowok itu ga boleh blablabla"

"Iya, gw kok ngerasa diri gw blablabla"

Bukannya ga penting, hal tersebut bisa diubah lewat pemikiran secara substansial (mendasar). Saat ada keluhan dalam pribadi kita, gw lebih mengajak kalian berpikir apa definisi keluhan itu, benarkah klaim kalo kalian itu memang lebih sengsara dibanding yang lainnya? Outputnya adalah agar kita bisa mendiagnosis titik penyakit dalam diri sehingga bisa mencari obat yang sesuai dengan penyakit tersebut.

Makanya beberapa kasus kemarin saat gw debat dengan liberalis mahasiswa psikologi itu, kalian bisa tau bagaimana konyolnya dia berargumen, dan para pengikutnya juga lemah akal. Karena yang bisa dia bawakan pada kontennya hanyalah "bagaimana bertoleransi sebebas mungkin" artinya target yang diinginkan adalah perasaan, bukan membangun makna toleransi dengan logika yang sehat.

Saat kasus dengan salah satu moderator grup edukasi, di prolog klarifikasinya aja udah nyerang pribadi gw, ad hominem. Yang kaya gini udh bukan tandingan, jadi percuma diladenin. Gimana mau ngurus grup edukasi kalo adminnya ga teredukasi?

Saat kmren ngobrolin tuhan sebagai "makhluk", orang tersebut langsung buat postingan di fb dia (walaupun sudah dihapus dan gw d blok), dia malah mulai status tersebut dengan membandingkan follower gw dan dia. Ini sama aja dengan dua orang yang debat dan karena salah satunya kalah argumen, dia bilang "waktu gw SMA, lu itu baru bisa ngomong. Jadi ga usah sok tau". Di kolom komentarnya banyak hujatan ke gw. Gapapa sih, karena semakin dihujat, semakin tau level pemikirannya. Btw untungnya tau dari orang, ga baca sendiri.

Gw cuma pengen audiens yang baca tulisan2 gw, minimal bisa berpikir secara logis, bagaimana mempersiapkan argumen, tidak melanggar prinsip "orang bodoh itu tidak layak berprinsip", alur berlogika yang benar, jika punya referensi carilah referensi valid, jika punya klaim buktikanlah klaim itu benar adanya, bisa memahami konteks yang sedang dibahas dan segala hal yang berkaitan dengan itu.

Rasa itu bisa dilogikakan. Tanpa logika, dia akan selalu menghakimi. Padahal, rasa jauh lebih baik jika ia tidak sekedar menghakimi, tapi juga dapat memahami.

Photo by Tim Swaan on Unsplash

Irwansyah Saputra

Belajar itu harus. Pintar itu bonus.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.