Daya nalar berpikir pengen lebih kritis dan cerdas? Pahami konteks

Kehidupan Apr 11, 2020

Oleh: Irwansyah Saputra, S.Kom., M.Kom.

Notice: Ini tulisan agak panjang. Tapi kalo mau nambah cerdas, baca sampai akhir.

Salah satu teknik agar bisa lebih cerdas dalam literasi adalah memperhatikan konteks yang sedang dibahas. Dalam ilmu kalam dan juga dalam ilmu mantiq (kitab sulamul munawraq), setiap kalimat itu memiliki konteksnya sendiri. Baik konteks waktu maupun keadaan.

Contoh: si A baru selesai makan. Si B baru mau makan nasi goreng. Ditawarilah si A. Pasti menolak karena kenyang. Disini, si A bukan membenci nasi goreng. Karena konteks nya dia dalam KEADAAN kenyang.

Contoh lain: Si C makan duren, si D ga suka.Bolehkah si C menyimpulkan kalau si D benci duren? Tidak. Karena Antonim kata suka = tidak suka. Bukan benci.Ini yg harus dipahami.

Contoh lain: "saya tidak suka kamu". Orang tsb langsung merasa kalau dia dibenci. Padahal makna tidak suka itu biasa saja. Tdk memiliki perasaan apapun. Bukan membencinya.

Blm tentu orang yg tidak suka terhadap sesuatu itu dia benci. Karena disini ada 3 level yaitu suka - tidak suka - benci. Atau kalau mau ditambahkan jadi sangat suka - suka - kurang suka - dll.

Contoh kalimat dalam konteks waktu: kyai said Aqil Siradj pernah berkata dalam ceramahnya makin panjang jenggot makin goblok. Banyak orang yg triggered. Langsung menghakimi kalo beliau melecehkan sunah berjenggot. Bahkan lebih ekstrim mengatakan beliau ulama su' (buruk).

Padahal konteks kalimat tsb adalah saat membantah orang2 wahabi yg berkata wali songo itu fiktif. Jadi, kalimat beliau diatas hanya mengarah pada orang2 ini. Ini disebut kalimat khas. Bukan kalimat 'am (umum).

Padahal juga, kalimat beliau itu hanya menukil dari perkataan imam Syafi'i dalam kitab Al-wafi bil wafayat jilid 2 halaman 123.

كلّما طالت اللحية، تكوسج العقل“Saat jenggot panjang, otak jadi pendek.”

Juga pada kitab ihya Ulumuddin karangan imam al Ghazali pada bab Asrar al-Thaharah.

كلما طالت اللحية تشمر العقل“Saat jenggot panjang, otak jadi berkurang.”

Itu contoh kalimat yg memiliki konteks waktu tertentu. Hanya berlaku pada saat itu. Tidak bisa dihukumi dgn dalil secara umum. Seperti menuduh beliau melecehkan sunnah berjenggot.

Andai benar beliau melecehkan sunnah berjenggot, lantas adakah yg berani menuduh imam Syafi'i dan imam al Ghazali juga melecehkan sunnah? Pasti ga akan berani. Padahal kalimat yg keluar dari kyai said, imam Syafi'i dan imam al Ghazali itu sama.Orang2 yg menuduh beliau akan bingung sendiri akhirnya.Dari kejadian ini kita bisa tahu mana yg ilmunya luas dan mana yg tidak.

Inilah juga mungkin salah satunya kenapa banyak orang yg berkomentar dibanding mengajar?Karena komentar itu ga butuh ilmu. Beda dgn ngajar.

Seseorang akan diketahui tingkatan dimana dia berada saat dia mengajar, bukan berceramah umum. Karena dalam mengajar, minimal dia harus memahami kaidah dasar ilmu tsb. Kalo ceramah ya tinggal ngafalin 2 atau 3 ayat + hadits dgn sanad nya juga udah pasti dibilang keren. Maka curigailah orang yg sering ceramah tapi ga pernah ngajar...

Jadi, sudah faham ya...

Kenapa sy bahas ini? Biar kita itu ga sembarang ngegas di postingan atau artikel atau berita milik orang lain. Dipahami dulu baik2. Kalo ga setuju bilang ga setujunya dimana. Atau kalo ga faham, yasudah biarkan.

Adab menerima berita:- jika fakta, cek apakah bermanfaat atau tidak? Jika iya, sebarkan. Jika itu fakta namun disebarkan akan menimbulkan kekacauan, mending jangan.

Irwansyah Saputra

Belajar itu harus. Pintar itu bonus.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.