Cocoklogi Agama atau Kebuntuan Sains?
“alah cocoklogi agama doang. Agama itu sudah diimani saja, ga usah sok pengen dibuktiin secara ilmiah. sains dan agama udah pasti beda domain”
Imam syafii berkata, salah satu kewajiban seorang mukallaf (orang yang sudah baligh) adalah mencari tahu tentang Allah. Dalam islam, keyakinan tidak hanya didasarkan pada hal yang sifatnya naqli (manut-manut tanpa mikir) namun juga bersifat Aqli (eksplorasi dengan akal).
Berbagai buku “racun keimanan” yang terbit biasanya menilai agama sesuai dengan pemahaman penulisnya tentang agama tersebut. Misalnya, jika penulisnya berasal dari barat, biasanya mereka akan mengkritisi praktis agama berdasarkan agama yang dianut mayoritas orang barat. Padahal, setiap agama punya aturan dan paradigma berpikir yang berbeda. Saat ingin mempertentangkan agama dan akal, maka penentang tersebut harus dipastikan paham terlebih dahulu domain dari agama itu, tidak bisa melakukan generalisasi terhadap semua agama dan meyakini semua agama adalah sama. Ini adalah kesalahan fundamental yang terjadi.
Tidak semua agama mengajarkan ruh/ibadah saja, islam jauh lebih dari itu. Saya tidak pernah melihat ada judul buku “Sistem ekonomi dalam agama A” selain buku “sistem ekonomi Islam”. Islam jauh lebih kompleks, tidak sekedar mengatur urusan ibadah saja. Islam mengatur ekonomi, sosial bahkan pergaulan sehari-hari. Menyejajarkan islam dengan agama lain (yang hanya mengatur ibadah saja) itu adalah perbuatan yang sangat konyol.
Hanya islam, agama yang mampu menentang /mengkritisi hegemoni kapitalisme dan komunisme sekaligus memberikan solusi konkrit, lengkap dan fundamental untuk menggantikan kedua sistem tersebut.
Secara logika, bagaimana mungkin seseorang yang lahir di gurun yang tandus, persia dan romawi pun enggan merebut kawasan tersebut, masyarakatnya gemar mabuk dan main wanita, kasar terhadap budak, merah padam wajahnya saat mendengar punya anak perempuan dan langsung menguburnya hidup-hidup, bahkan tidak bisa membaca dan menulis. Dari ekosistem sosial yang seperti itu lahir seseorang yang bisa berkata tentang proses penciptaan manusia, bisa berucap tentang antariksa, bisa mengatur ekonomi, membuat sistem ekonomi yang berbeda dengan yang sudah berada sebelumnya, sosial masyarakat hingga menjadi jauh lebih beradab dari sebelumnya, bahkan bisa meruntuhkan persia dalam waktu kurang dari 1 abad. Ditinjau dari sisi gaya bahasa alquran pun sangat jauh berbeda dengan gaya bahasa hadits. Kehebatan-kehebatan gaya bahasa dan sastra itu sudah tertulis di berbagai kitab. Andai para pengkritik itu mau membuka otak mereka untuk membaca literatur dari sudut pandang Islam, tidak hanya dari sisi yang mereka inginkan saja, tentu saja hal tersebut lebih bijaksana dan tidak egois.
Selain itu, sumber kedua hukum tersebut juga didiskusikan oleh orang-orang yang menggunakan akalnya dalam berdebat. Hingga muncullah mazhab-mazhab dalam Islam. Itu semua buah dari eksplorasi panjang terhadap dua sumber alquran dan hadits, dan hal ini pun tentu saja menggunakan akal. Bahkan untuk menjadi seorang mujtahid mutlak, ia wajib memiliki akal yang sangat cerdas dalam memahami nash, agar munculnya konsistensi kesimpulan dalam merumuskan hukum yang ia gali. Beribu jilid kitab yang berasal dari banyak orang yang tidak saling mengenal satu sama lain, menjelaskan berbagai hukum, mempelajari metodenya, mengkritisinya, apakah semua orang-orang tersebut adalah orang bodoh? Ketidakmaupahaman para pengkritik itu dalam hal ini, bukti keegosian mereka dalam memahami sesuatu yang hanya sesuai dengan pendekatan metode yang mereka inginkan.
Yang kedua terkait cocoklogi. Saya mencari tahu definisi cocoklogi namun tidak menemukan batasan cocoklogi. Dalam pandangan sains, segala sesuatu yang tidak dapat didefinisikan, tidak memiliki persamaan matematis, tidak dapat dijelaskan dengan metode secara empiris maka akan bernilai nol. Ya, saya pun percaya itu. Saat berkata menara eiffel di paris, maka kita harus buktikan itu dengan metode sains. Saat seseorang berkata bahwa alquran adalah cocoklogi, secara sains itu memang betul. Karena alquran hanya menyebutkan “tanda”, tapi tidak menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban penjelasan dari pernyataan ayat tersebut. Alquran hanya berkata matahari mengorbit, namun tidak menjelaskan prosesnya. Masalahnya adalah, apakah ukuran kebenaran hanya dapat dibuktikan secara sains saja? Tidak adakah pendekatan lain selain sains untuk dapat melakukannya? Ini yang harus dibahas.
Anggapan cocoklogi itu muncul karena ketidakmampuan sains dalam membahas hal yang tidak dijangkau oleh ilmu tersebut. Bukan salah sains, namun salah orang yang menggunakan metode sains untuk menimbang sesuatu yang diluar ranah sains. Saat saya menjelaskan sains dengan alquran, saya hanya ingin mengatakan bahwa “jika alquran dan alam semesta ini berasal dari Tuhan, maka tidak ada pertentangan antara keduanya. Karena Tuhan maha tahu dan maha segalanya”. Itu konsepnya. Masalah alquran tidak bisa menjelaskan secara sains, saya pun setuju hal tersebut dan memang bukan ranahnya agama untuk menjelaskan hal tersebut. Namun mengatakan cocoklogi terhadap alquran hanya karena mengatakan tanda-tanda ilmu pengetahuan, itu adalah kekonyolan fatal. Kenapa? Karena sains hanya dapat menjelaskan sesuatu berbasis empiris.
Dari berabad-abad yang lalu, hadir pula ilmu yang menjelaskan sesuatu yang tidak empiris, seperti filsafat atau ilmu mantiq. Jangan hanya tidak mempelajarinya, lalu secara serampangan mengatakan bahwa segala bahasan dalam filsafat itu hanya bualan/omong kosong hanya karena tidak bisa dibuktikan secara empiris. Filsafat tidak hanya sekedar retorika, bacalah teori kebenaran dalam ilmu filsafat, bacalah buku-buku mereka juga. Sehingga kita tahu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tidak hanya didapatkan dari sains, namun juga bisa bersumber dari ilmu lainnya saat sains tidak mampu menjangkaunya.
Saya tidak sedang mengaitkan sains dengan agama dalam metodologinya, karena sudah jelas ranah agama adalah salah satunya “percaya pada hal gaib”, namun tanda yang sudah diungkapkan dalam kitab suci pun tidak bisa dianggap remeh begitu saja dan dikatakan “cocoklogi”, padahal sesuai dengan fakta sains saat ini. Bukankah ada kemungkinan lain selain berkata “cocoklogi”, seperti “mungkinkah ini memang berasal dari pencipta yang sama?”
Terakhir soal prof maurice bucaille. Pembahasan saya terkait professor itu hanya kejadian saat beliau meneliti mumi fir’aun, bukan pribadi dia secara keseluruhan. Apakah saat ada pencuri lalu dia berkata 1+1=2, kita tidak bisa membenarkannya hanya karena dia seorang pencuri? Atau dibalik, apakah hanya karena dia berkata 1+1=2, lalu kita tidak percaya kalau dia mencuri? Bisa saja saya memberikan bukti dari ilmuwan lain terkait hal ini. Artinya, andaikan saya bawa contoh yang salah tentang satu ilmuwan tersebut, bukan berarti itu meruntuhkan semua isi secara substansial, karena konteksnya ini hanya pembuktian dari pihak di luar domain empiris agama tersebut.
Berlogika dengan benar itu memang sangat sulit bagi orang yang punya kebencian mendalam terhadap hal lain. Lalu bagaimana orang-orang seperti ini bisa dikatakan dengan sebutan “open minded”?
Selamat Hari Raya Idul Fitri. Mohon maaf lahir dan batin.