Algoritma Maliki, Hambali, Hanafi, Syafii

Agama Apr 10, 2020

Disclaimer:
Tulisan ini membahas kenapa kita harus bermazhab
Tulisan ini dibahas dari sisi Ilmu komputasi

Oleh: Irwansyah Saputra, S.Kom., M.Kom.

Jika kita baca sekilas judul diatas, kita bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud algoritma disana adalah mazhab. Lantas adakah persamaan antara algoritma dengan mazhab? Atau lebih tepatnya apakah algoritma bisa disebut dengan mazhab?

Mazhab itu artinya tempat pergi. Syeikh A berkata: “telah berkata imam syafii mengenai masalah….” Maka pendapat tersebut pergi kepada imam syafii. Didalam “pergi” nya pendapat tersebut ada sebuah kerendahan hati dari syeikh A untuk bersandar pada algoritma yang dipakai oleh imam syafii dalam mengistinbath dalil menjadi sebuah hukum. Metode tersebut dirumuskan oleh para mujtahid yang memang ahli dalam hal itu. Terutama bidang ushuliy. Setiap metode memiliki atribut yang berbeda-beda tergantung mujtahid tersebut menimbang apakah atribut ini layak atau tidak untuk dijadikan class/label/hasil untuk sebuah hukum. contoh: imam syafii tidak memasukkan mashalih mursalah saat mengistinbath hukum dan bahkan mengecamnya. Berkata Imam syafii: Siapa saja yang menjadikan mashalih mursalah sebagai landasan ushul dalam merumuskan hukum maka dia sudah menambahkan perkara bid’ah pada agama ini [1]. Padahal, sang guru yaitu Imam Malik memasukkan mashalih mursalah sebagai landasan ushulnya dalam merumuskan hukum.

Disini bisa disimpulkan bahwa, atribut-atribut yang dipakai para imam mujtahid tersebut berbeda-beda. Kesimpulan memutuskan suatu atribut itu layak atau tidak didapat dari proses boosting untuk mendapatkan top ranking atribut. Berarti ada atribut-atribut yang tidak dipakai karena tidak masuk top ranking atribut. Kenapa harus top ranking atribut? Manfaatnya adalah agar akurasi hukum yang dihasilkan dari metode tersebut bisa sedekat mungkin dengan kebenaran. Semakin baik atribut yang digunakan, maka semakin tinggi juga akurasi yang didapatkan.

Metode/algoritma yang digunakan oleh para imam mujtahid pun tak bisa dicampuradukkan begitu saja dan itu menyalahi tingkah laku ilmiyah. Maka dari itu, sungguh aneh jika ada orang yang tidak mau bermazhab. Kenapa? Karena, algoritma/metode apa yang dia gunakan saat merumuskan hukum? Atribut apa saja yang dia gunakan sehingga dapat memunculkan keputusan ini halal ini haram, makruh, sunnah dan mubah?

Misalnya ada hadits yang berbunyi: “maka ibnu umar disuruh untuk berada di kanan nabi saat shalat bersamanya shallallahu alaihi wasallam”. Hadits ini hanya sebuah atribut yang harus ditunjang dengan atribut-atribut lainnya. Kenapa? Karena “posisi kanan” itu apakah sejajar, atau dibelakang sedikit, atau apa?

Contoh lain: “peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Hadits tersebut apakah sifatnya haram mencukur jenggot atau bagaimana? Kalau haram, kenapa sang perawinya (ibnu umar) mencukur jenggotnya walaupun tidak sampai habis?. Atau apakah memelihara itu sama dengan membiarkan jenggot seperti sarang lebah yang menjuntai kesana kemari? Atau hadits itu berlaku karena zaman itu umat islam sedang perang dengan persia sehingga bisa memudahkan dalam membedakan mana umat islam dan mana orang persia? Banyak bukan atribut yang digunakan?...

Jadi, tidak lantas saat menerima sebuah hadits shahih bisa langsung diaplikasikan. Tidak bisa. Dan itu sama sekali tidak ilmiyah. Dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang bodoh. Makanya saya pun kadang heran dengan orang yang belajar shalat dengan membaca buku “tata cara shalat sesuai alquran dan sunnah”.Didalamnya memang terdapat dalil-dalil alquran dan sunnah untuk shalat. Tapi kira-kira pada buku tersebut, metode/algoritma yang dipakai milik siapa? Apakah sudah diuji akurasinya? Apakah atributnya sudah betul? Apakah ada kodifikasi algoritma tersebut sehingga bisa dipelajari oleh ulama-ulama setelahnya?

Tahukah anda, dalil itu bukanlah sebuah hukum? Dalil itu hanya atribut didalam sebuah kumpulan data yang harus diolah menggunakan algoritma tertentu sehingga memunculkan keputusan hukum halal, haram, makruh, sunnah atau mubah.

Faktanya, dalam ilmu komputasi tepatnya bidang komputasi data mining, algoritma yang terkenal itu adalah algoritma yang sudah teruji dengan tingkat akurasinya yang tinggi dan diakui oleh ahli komputasi lainnya. Tidak bisa kita mencampuradukkan algoritma yang ada begitu saja dan menghasilkan hukum seketika. Bahkan hasilnya malah error dan jauh dari kebenaran.

Dan belum tentu algoritma yang memiliki tingkat akurasi tinggi dalam suatu kasus, bisa sama tingginya jika dimasukkan pada kasus yang lain. itulah kenapa di maroko mazhab maliki lebih banyak digunakan. Karena data training (mazhab maliki) yang dikodifikasi oleh imam malik sesuai dengan data testing (pola kehidupan orang maroko). Sehingga mazhab maliki di maroko memiliki tingkat akurasi yang tinggi disana.

Begitu pun dengan indonesia. Jadi jangan mengacak-acak mazhab syafii yang memang sudah sesuai dengan kehidupan umat islam di indonesia.

Maka gunakanlah algoritma yang sudah teruji klinis selama ribuan tahun dan sudah disepakati oleh para ulama dari dulu sampai sekarang dan sudah dikodifikasi dengan baik, juga sudah di-boosting oleh ulama pengikut mazhabnya agar menghasilkan hukum yang lebih baik dari imam mujtahidnya (dengan tidak berpaling dari algoritma yang digunakan oleh imam mazhabnya). Jangan sampai kita tidak bermazhab. Itu sama saja dengan kita menggunakan algoritma kita sendiri yang kita sendiri pun tidak paham atribut apa saja yang digunakan untuk merumuskan hukum. Sehingga bukannya mengikuti jalan yang benar malah sesat jauh dari kebenaran. Maka kembalilah kepada manhaj salaf. Manhajnya para ulama yang memiliki kredibilitas tinggi namun tetap berpegang pada mazhab-mazhab yang ada.

Referensi:[1] Fiqhul Islam wa adillatuhu, syaikh wahbah az Zuhaili Rahimahullah

Irwansyah Saputra

Belajar itu harus. Pintar itu bonus.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.