MARKETPLACE: PREDATOR PASAR ATAU NEGARA: YANG TAK SANGAR?
MARKETPLACE: PREDATOR PASAR ATAU NEGARA: YANG TAK SANGAR?
Oleh: Irwansyah Saputra
- S3 Computer Science IPB University
- Bidang Kajian Artificial Intelligence dan Blockchain
Bagikan postingan ini jika bermanfaat. Karena orang lain juga menginginkan postingan bermanfaat.
Pernahkah kita melihat ada ruko yang disewakan, lalu karena toko tersebut rame, tahun depan pemiliknya berbeda dengan jualan yang tetap sama?
Itu bisa terjadi karena penjual di ruko hanya sebagai penyewa. Ia bisa ditendang kapan saja baik dengan cara halus maupun dengan cara kasar. Cara halus bisa dengan cara dinaikkan tarif sewa tahunannya ditambah biaya operasional lainnya. Cara kasar bisa langsung dengan cara memutuskan kontrak oleh pemilik ruko dengan alasan rukonya mau dijual. Intinya pemilik ruko berpikir bagaimana caranya agar orang tersebut tidak menyewa lagi ruko di tempatnya. Kenapa? Karena pemilik ruko mengetahui adanya peluang untuk meneruskan usaha yang sama di tempat tersebut. Ibaratnya tinggal meneruskan usaha penyewa sebelumnya, sehingga ia tidak terlalu bersusah payah membangung brand dari awal. Licik bukan? Itulah kenyataannya.
Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana jika kasus tersebut terjadi di dunia digital? Tentu saja korbannya lebih banyak. Kenapa bisa begitu? Karena dalam dunia digital, tidak ada tempat fisik dan peluang orang yang daftar lebih banyak dibandingkan offline. Jika pada offline, untuk menyewa ruko kita butuh uang DP di depan, butuh biaya administrasi untuk persiapan buka usaha seperti meja, kursi, karyawan, listrik, air dan lain sebagainya. Sehingga tidak semua orang sanggup untuk melakukan hal tersebut. Semua hal tadi tidak berlaku di online, kita hanya butuh username dan password saja maka kita bisa langsung mulai berjualan. Untuk produknya kita bisa dropship dari orang lain. Dropship adalah cara jualan tanpa memiliki produknya. Seperti “eh lu jualan baju kan? Gw jualin lagi deh.. ntar kalo ada yang beli, gw ambil ke lu ya barangnya. Tapi harganya gw naikin sedikit ya biar gw bisa dapet untung”.
Kecurangan kasus di awal cerita bisakah terjadi di marketplace? Tentu saja ada kemungkinan terjadinya kejadian tersebut. Dengan online, justru riset dapat dilakukan lebih mudah. Pemilik marketplace tinggal mengumpulkan data bulanan, kemudian ia mengurutkan top 10 produk yang paling laku. Setelah itu, ia tinggal mencari produsen yang bisa jual produk-produk tersebut dengan lebih murah dan mematikan para seller yang berada di top 10 produk tersebut. Misalnya di top 10 produk itu ada hijab. Ternyata hijab jenis persegi sedang ramai dan laku di pasaran. Kemudian pemilik marketplace tinggal mencari produsen hijab persegi dengan harga yang lebih murah.
Dalam hukum ekonomi ada yang disebut dengan “produksi banyak akan menekan harga”. Marketplace bisa melakukan itu, karena modalnya besar. Sedangkan para seller itu biasanya adalah umkm, yang untuk belanja stok harus menunggu uang cair dari marketplace terlebih dahulu. Jadi jika uang masih ditahan di marketplace maka ia belum bisa memenuhi stok lagi. Dan juga para seller itu akan membeli bahan baku bukan dari tangan pertama pabrik, begitu juga dengan produsennya. Sedangkan marketplace bisa langsung mencari bahan baku dari tangan pertama, dan mencari produsen hijab persegi juga dari tangan pertama. Artinya, mereka menguasai alur dari hulu sampai hilir. Dari bahan baku hingga jadi kerudung.
Bahkan bukan hanya bidang produksi, tapi supply chain management secara keseluruhan. Seperti bagian distribusi juga akan dikuasainya. Mungkin di awal membangun, mereka masih menggunakan kurir dari luar, kerja sama dengan pihak ketiga untuk mengantarkan paket agar sampai ke tangan konsumen. Mereka akan mencari pihak ketiga yang paling terpercaya untuk diajak kerja sama agar konsumen merasa puas dengan pengiriman yang cepat. Namun, semakin besar mereka (baik karena keuntungan atau dapat investasi dari pihak lain), mereka akan mulai membuat sistem distribusinya sendiri. Pihak ketiga mulai dikurangi satu persatu, dan digantikan oleh kurir dari mereka sendiri.
Cara seperti ini apakah sudah dilakukan? Saya tidak tahu (nyari aman :v). Tapi kita bisa lihat indikasinya dari beberapa hal. Seperti naiknya biaya administrasi yang dibebankan pada seller. Sulitnya pengiriman dengan kurir pihak ketiga. Ditutupnya akun seller tanpa alasan yang jelas (sehingga mereka bisa menggantikan seller tersebut menjual produk yang sama. Ini kasus yang mirip dengan ruko di atas).
Era disrupsi adalah era menghancurkan atau dihancurkan. Bisa dihancurkan secara paksa atau dengan sendirinya. Jika dihancurkan dengan sendirinya seperti kasus pada ojek online. Kehancuran ojek pangkalan diakibatkan karena berubahnya pola perilaku dalam memesan ojek. Yang tadinya harus datang ke pangkalan, sekarang ojeknya yang datang ke rumah penumpang. Pastinya penumpang memilih model yang kedua dibandingkan yang pertama. Otomatis cepat atau lambat ojek pangkalan akan hilang dengan sendirinya.
Kehancuran dengan paksaan seperti halnya terjadi pada kasus penyewa ruko di atas. Hal ini disebabkan karena penyewa ruko atau seller di marketplace tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan apapun untuk mencegah hal itu terjadi. Pada akhirnya mereka akan menjadi korban dari sistem yang sepertinya memudahkan di awal.
Lalu apa yang harus dilakukan? Tidak ada. Bukan tanggung jawab kita mencari solusi, karena sudah dijelaskan bahwa kita tidak punya kekuatan dan kekuasaan apapun. Yang bisa adalah negara, pemerintah dengan aturannya. Kenapa harus negara? Karena sebab negara juga lah marketplace tersebut bisa beroperasi di negara kita. Artinya, dengan negara jugalah marketplace itu bisa ditutup. Atau jika mau opsi lain, negara membuatkan marketplace yang mirip dengan mereka lalu menyuruh umkm berjualan di sana. 10 juta orang demonstrasi di depan gedung marketplace akan kalah dengan tanda tangan 1 orang pemimpin negara. Itulah kenapa kekuasaan yang baik menjadi sangat penting. Karena dengan 1 tanda tangan tersebutlah segala hal dalam suatu negara bisa berubah.
Coba lihatlah negara china. Google, facebook dan yang sejenisnya tidak diperbolehkan masuk di awal perkembangannya. Negara tersebut membuat terlebih dahulu mesin pencari sendiri, membuat facebook sendiri, membuat whatsapp sendiri. Setelah hampir 90% rakyatnya menggunakan produk buatan negara mereka, maka produk dari luar baru diizinkan untuk masuk. Ibaratnya 1 danau sudah dikuasai, silakan kalau mau ambil tetesan air dari kerannya saja. Secara otomatis, rakyat akan tetap menggunakan produk buatan negaranya, karena dari awal sudah menggunakan itu. Teman-teman mereka juga menggunakan itu. Malas install produk yang lain karena pasti sepi. Dari kasus ini, apa hikmahnya? Hikmahnya adalah ternyata negara bisa melindungi rakyatnya jika negara tersebut berdaulat penuh atas rakyatnya. Bagaimana caranya agar negara berdaulat? Salah satunya adalah dengan melindungi kedaulatan privasi rakyatnya baik secara fisik maupun secara digital. Sehingga sudah pasti negara tersebut tidak berdaulat jika e-katepeh saja masih dipotokopi. *eh
Note:
Ini hanyalah analisis kasar dari suatu konsep yang bisa terjadi beserta hukum kausalitas yang mengiringinya. Analisis lebih dalam membutuhkan data primer yang valid dari para stakeholder terkait.