Mana Dalilnya Atau Mana Hukumnya
Waktu itu saya pernah tulis tentang tahqiqul manath. Kemudian saya beri contoh pertanyaan “apa hukum musik?”, alhamdulillah ada yang protes begini “sudah jelas dalil hadits keharaman musik, kok masih dipertanyakan?”
Saya bukan ahli agama. Namun, tidak ada salahnya jika kita juga sebagai awam harus tahu bagaimana cara ulama merumuskan dalil menjadi suatu hukum.
Misalnya kita gunakan kasus di atas terkait musik. “sudah jelas ada hadits yang mengharamkan musik”. Pernyataan tersebut harus kita kaji kebenarannya. Yaitu,
1. Apakah larangan dalam hadits tersebut itu bersifat pengharaman?
2. Apakah semua larangan dalam hadits itu hukumnya haram?
3. Apakah ada kata haram dalam hadits tersebut?
4. Apakah hadits tersebut merujuk pada larangan musik?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab menggunakan berbagai bidang ilmu. Namun di sini saya hanya ingin menjelaskan tahapan yang benar dalam mengistinbath daliil.
Wajib, mubah, makruh, sunnah, haram adalah ranah dalam bidang fiqih, bukan hadits. Ilmu hadits itu belajar tentang sanad, matan, rijalul hadits (para periwayat hadits), derajat hadits dan lain sebagainya. Dengan kata lain, saat ditemukan larangan atau anjuran dalam suatu hadits, kita sebagai orang awam tidak bisa langsung mengatakan “oh ini halal, oh ini haram”, karena hadits tersebut sifatnya bahan baku yang mesti diolah oleh ahlinya.
Bahkan, para ahli hadits sendiri pun seperti imam bukhari tak menjadi mujtahid mutlak untuk merumuskan dalil menjadi suatu hukum, padahal beliau hafal jutaan hadits beserta perawinya, hafal quran pula. Beliau sendiri malah bermazhab syafii. Begitu juga pengarang kitab fathul bari, sebuah kitab penjelas untuk sohih bukhari. Beliau bernama imam ibnu hajar al asqalani, secerdas itu pun beliau tak membuat mazhab sendiri. Kenapa? Karena urusan merumuskan dalil menjadi suatu hukum bukanlah perkara yang mudah. Tidak hanya sekedar “oh ini derajat haditsnya sohih, maka boleh diamalkan, oh ini lemah, tidak boleh diamalkan”. Tidak seperti itu.
Sehingga, saat ada larangan atau perintah dalam suatu hadits atau quran, bukanlah serta merta larangan itu adalah haram, dan anjuran itu jadi wajib. Semua itu ada ilmunya. Dan ilmu tersebut ada dalam ushul fiqih. Kalau kitab fathul qarib saja belum tamat, harusnya kita sebagai pelajar harus lebih tahu diri dimana batasan kita. Jika tidak, bisa jadi itu adalah merupakan sikap “kekurangajaran” kita terhadap ilmu dan ahlinya.
Dalam kitab ta’lim sudah dijelaskan, siapa yang tidak menghormati ilmu dan ahlinya, maka dirinya dan keluarganya tidak akan menjadi ahli ilmu.
“mana yang wajib dipelajari untuk orang awam?”
Maka pelajarilah fiqih. Disana akan didapatkan tata cara ibadah praktis untuk kehidupan sehari-hari. Karena ada kaidah “Mâ Lâ Yatimmu al-Wâjib Illâ Bihi Fahuwa Wâjibun”. Artinya, sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib”. Maksudnya, jika solat itu wajib, maka belajar solat jadi wajib. Jika solat itu wajib dan wudhu menjadi wajib, maka keberadaan air untuk wudhu hukumnya jadi wajib. Tamatkan kitab fathul qarib terlebih dahulu. Saya mengulang kitab ini sebanyak 4 kali sampai saya bosan.