Kenapa seorang muslim itu harus bermazhab?

Agama Feb 10, 2022

Ini ga bakal gw bahas pake dalil agama, karena bukan pakarnya. Yang gw pake pendekatannya pake ilmu yang lg didalami, Data Science dan Machine learning. Kok bisa? Emang nyambung? Lu bisa jawab sendiri setelah baca postingan ini.

Jadi begini, salah satu fungsi data science itu mengekstraksi pengetahuan dari kumpulan data yang banyak (big data). Contoh sederhananya, gw pemilik minimarket yang transaksi perharinya sampe ratusan ribu transaksi. Gw pengen tau lebih banyak mana orang yang beli mie instan + telur dibandingkan dengan orang yang beli mie instan + beras? Gw pengen tau biar nanti kalo bikin promo itu sesuai sasaran. Misal hasilnya gini: ternyata ada 96% orang yang beli mie instan + telur. Nah, gw bisa tu bikin promo setiap beli mie instan 5 pcs, bisa tebus murah telur 1 kg. Ini bakal naikin penjualan, karena data bicara begitu. Ini yang disebut dengan ekstraksi pengetahuan dari data.

Sampe sini paham kan ya? Ok kita lanjut. Masalahnya adalah, untuk dapetin angka 96% seperti di atas kita ga bisa pake metode biasa. Kalo pake excel kita Cuma bisa ngitung penjualan mie berapa, penjualan telur berapa, penjualan beras berapa. Tapi Kita ga bisa tau kaitan satu produk dengan produk lainnya dengan cara manual begitu. Yang kita lakuin di excel barusan, itu Namanya mengubah data jadi informasi doang, bukan jadi pengetahuan. Misalnya, kita pengen tau berapa penjualan telur bulan ini, apakah ada peningkatan penjualan beras dari bulan sebelumnya. Yang kaya gini disebut mengubah data jadi informasi doang. Dan ini bisa dilakuin pake excel.

Jadi ada dua terminology yang udah kita pahami, yaitu informasi dan pengetahuan. Keduanya bisa kita dapet dari data yang sama. Bedanya, kalo informasi bisa langsung ketauan, misalnya tadi jumlah mie instan yang terjual bulan ini. Tapi kalo mau ekstraksi pengetahuan, kita butuh metode/algoritma, kita butuh persamaan matematis untuk memunculkan pengetahuan dari data tersebut. Pengetahuannya ada di dalam data, tapi kalo kita ga pake algoritma, pengetahuan itu ga keliatan, karena yang kita liat Cuma sekumpulan data aja, paling maksimal kita ubah jadi informasi.

Lalu apa hubungannya dengan mazhab? Gini... pernah denger ga ada orang yang ceramah trus nanya “mana dalilnya maulid? Mana dalilnya tahlilan? Mana dalilnya yasinan?”

Nah orang ini ga paham bedanya informasi dan pengetahuan. Karena untuk mengubah dalil jadi hukum, itu butuh yang namanya metode atau algoritma. Nah yang sekarang sampe ke kita itu ada 4, yaitu hanafi, hambali, maliki, dan syafii. Para imam mazhab itulah yang membuat algoritma (dalam data science disebut dengan machine learning) yang ketika ada data quran dan hadits diproses dengan algoritma mereka akan muncul luaran hukum (wajib, makruh, sunnah, mubah, dan haram).

Bingung ga? Gini gw kasih contoh paling mudah. Misalnya ada hadits yang mengatakan dilarang minum sambil berdiri. Nah, larangan ini adalah dalil, tapi kita ga tau apakah larangan ini hukumnya haram, atau Cuma makruh. Maka untuk mengubah dalil tadi menjadi pengetahuan (haram atau makruh), kita butuh satu algoritma, misalnya algoritma syafii. Lalu ternyata dengan algoritma tersebut, hasilnya makruh. Kemudian kita lakukan learning dalil yang sama dengan algoritma yang berbeda, misalnya hambali, eh ternyata hukumnya haram (misalnya). Itu bisa aja terjadi. So, mazhab itu adalah machine learning (algoritma yang memiliki persamaan matematis dengan konsep yang jelas dan diakui).

Jadi, untuk mengubah dataset (dalil quran dan hadits) menjadi pengetahuan, itu ga bisa hanya sekedar nanya dalilnya. Orang seperti itu ibarat mengimpor ayat quran dan seluruh hadits ke satu file excel, lalu dia ctrl + f dan ngetik “maulid”, lalu excel bilang “not found”. Yaiyalah ga bakal ketemu, karena untuk mengubah dalil jadi hukum itu butuh metode, butuh algoritma, bukan Cuma sekedar ctrl + f. kalo ini namanya nyari informasi, bukan pengetahuan. Itu sama aja dengan contoh minimarket di atas, si pemilik minimarket ctrl + f di excel terus ngetik “berapa persen orang yang beli mie instan + telur?” ya ga bakal ketemu lah.

Tapi, ga ketemu bukan berarti ga ada. Nilai 96% mie instan + telur itu buktinya ada, Cuma untuk munculin nilai tersebut butuh algoritma, ga bisa kalo Cuma ctrl + f di excel. Begitu juga dengan hukum maulid, yasinan, tahlilan. Kalo di ctrl + f ke dalil ya ga bakal ada. Karena hukum itu adalah hasil dari ekstraksi pengetahuan, bukan pencarian secara tekstual ke sumber data.

Orang yang nanya dalil begitu bukti dia ga paham yang namanya konsep learning. Dia ga bisa bedain antara data, informasi, dan pengetahuan. Inilah juga kenapa, orang2 yang beragama secara tekstual, fatwanya aneh-aneh. Kenapa coba? Karena mereka ga punya algoritma untuk memproses dalil menjadi hukum. Mereka ga punya perangkat, ga punya persamaan matematis, ga punya konsep baku. Jadi asal ada dalil yang seakan cocok, comot aja lalu sodorkan dengan tagline “Kembali pada alquran dan hadits” padahal itu kegiatan yang jahil murakkab. Misalnya, voucher ongkir haram, bilang “langit, bisakah kamu turunkan hujan” haram dan musyrik. Makanya gw suka heran kalo ada saintis muslim, atau programmer, atau data saintis yang jadi tekstualis, karena secara konsep berpikir aja udah ga runut, metode yang dipake aja ga jelas, konsep dan algoritmanya aja ga baku.

Agar lebih sederhana, gw bisa kasih konsep bagaimana data berubah jadi pengetahuan.
Data preparation – data preprocessing – data modelling (data mining) – knowledge extraction.

Kita analogikan terhadap agama
Data preparation (quran dan hadits) – data preprocessing (seleksi hadits palsu, menegasikan mushaf selain ustmani, dll) – data modelling ( ushul fiqih mazhab hanafi, maliki, syafii, hambali) – knowledge extraction (hukum syara yang lima, wajib, sunnah, mubah, makruh, haram).

Jadi, ketika orang tak bermazhab itu fatwanya aneh, ga usah heran. Karena ada satu tahap yang dihilangkan menjadi:
Data preparation – data preprocessing – knowledge extraction.

Ini menjadi kacau karena bagaimana mungkin pengetahuan bisa diekstraksi jika tanpa algoritma atau metode yang benar.

Note: tidak bermazhab di sini bukan berarti tidak mengikuti salah satu imam mazhab. Tapi maksudnya tidak bermetodologi. Misalnya, ada organisasi yang merumuskan hukum tidak hanya dari satu imam mazhab saja, ini termasuk ke dalam “bermazhab” dalam bahasan tulisan ini. Karena ia bermetodologi, artinya ada data modelling yang dilakukan.

Semoga bisa dipahami...

Irwansyah Saputra

Belajar itu harus. Pintar itu bonus.

Great! You've successfully subscribed.
Great! Next, complete checkout for full access.
Welcome back! You've successfully signed in.
Success! Your account is fully activated, you now have access to all content.