Apa yang menarik dari merger Gojek dan Tokopedia?
Oleh: Irwansyah Saputra, S.Kom., M.Kom., MTA
(Mahasiswa S3 Ilmu Komputer Bidang Kajian Blockchain dan Artificial Intelligence)
Udah baca kan ya berita terkait mergernya gojek dan tokopedia? Gimana menurut kalian? Tertarik atau ga bahasnya? Atau hanya sekedar “bukannya ini hanya merger biasa aja ya, toh perusahaan lain juga sering kok merger. Lantas bedanya apa?”
Ya betul sih merger itu sudah pernah dilakukan beberapa perusahaan lain juga. Seperti halnya bank mandiri itu adalah hasil merger dari bank bumi daya, bank ekspor impor Indonesia, bank pembangunan Indonesia dan bank dagang negara. Contoh lainnya adalah lippo karawaci, yaitu hasil merger dari 8 perusahaan, salah satunya adalah siloam health care. Makanya ga heran kalo ada mall lippo terus ada rumah sakit siloamnya, seperti yang terjadi pada mall lippo yang dulunya Pangrango Plaza di seberang kebun raya bogor.
Lalu tujuan merger perusahaan itu untuk apa sih? Bukannya tanpa merger pun mereka akan tetap dapat untung masing-masing? Ya betul, cuma ada pepatah yang bilang “kalo mau jalan jauh, kita harus bareng-bareng”. Beberapa faktor utama merger adalah yang pertama terkait pajak. Jika kewajiban pajak yang terlalu banyak sehingga menyebabkan kerugian bagi perusahaan, agar permasalahan tersebut mendapatkan solusinya maka perusahaan akan menawarkan untuk merger pada perusahaan lain, sehingga dapat menghasilkan laba yang lebih tinggi dan dapat menutupi kerugian pajak perusahaan. Jika perusahaan yang kurang bonafit diajak merger, biasanya persentase sahamnya akan lebih banyak dari perusahaan lain yang lebih kuat dari sisi modal merger, atau bahkan bisa mencapai titik akuisisi, yaitu suatu kegiatan “membeli perusahaan lain”, seperti halnya Facebook mengakuisisi instagram dan whatsapp, Microsoft mengakuisisi github namun discord menolak. Terkadang beberapa perusahaan juga mengakuisisi kompetitornya hanya untuk dimatikan, bukan dikembangkan. Seperti yang terjadi pada Urchin dan Aardvark yang diakuisisi oleh Google.
Faktor kedua adalah agar perusahaan bertumbuh dengan cepat. Ini sebenarnya poin utama jika kedua perusahaan merger itu memiliki finansial yang sehat. Bagaimanapun, merger adalah gabungan dua perusahaan yang berbeda, tentunya tujuan merger yang pasti adalah uang. Jika merger ini dilakukan oleh dua perusahaan pemilik produk yang mirip (yaitu saling berkompetisi dengan produk yang sama), maka ini akan mengurangi kompetitor di lapangan dan akan menjadikan lebih kuat sehingga kompetitor lain yang tidak ikut merger akan kewalahan dengan gabungnya dua kompetitor tersebut. Namun, ada UU yang melarang merger pada perusahaan yang memiliki kompetitor sedikit, seperti halnya gojek dan grab. Jika kedua perusahaan ini merger maka yang akan terjadi adalah monopoli pasar. Tidak ada kompetitor lain di lapangan sehingga persaingan bisnis menjadi tidak sehat, seperti kebijakan pada mitra driver yang seenaknya (karena perusahaan merasa akan selalu dibutuhkan oleh mitra. Mitra tidak punya opsi lain untuk pindah).
Kita batasi kedua faktor utama sampai di sini. Yang akan dibahas selanjutnya adalah terkait poin yang menarik dalam proses merger kedua perusahaan gojek dan tokopedia. Di mana letak menariknya? Letaknya adalah kedua perusahaan tersebut tidak punya aset berwujud. Mereka hanya bermodalkan intangible aset, yaitu aset tak berwujud. Mudahnya, zaman dulu kalo kita mau bikin perusahaan taksi, maka kita harus menyediakan armada minimal 1000 taksi agar bisa beroperasi. Atau kita mau buat maskapai baru, minimal kita harus punya pesawat dan segala macam persiapan untuk mulai bisnis. Namun, kedua perusahaan tersebut tidak memiliki itu. Gojek tidak punya satu pun motor milik perusahaan, namun valuasi perusahaannya melebihi Garuda. Tokopedia (pada awalnya) tidak punya gudang stok yang bisa menyimpan seluruh barang yang dijual di situsnya, namun dia bisa menjual produk-produk tersebut. Aset tak berwujud ini tidak bisa diukur oleh neraca akuntansi, laporan keuangan perusahaan. Maka analisis bisnisnya pun berbeda dari kebanyakan perusahaan konvensional lainnya. Aset tak berwujud pun tidak bisa dijamin oleh perbankan, namun ia melekat pada diri seseorang seperti skill, keterampilan, kreativitas, ide dan pengetahuan mind mapping yang hebat. Artinya, kita pun punya kesempatan yang sama dalam memiliki intangible asset.
Anehnya, walaupun hanya dengan intangible asset, gojek mendapatkan suntikan dana dari berbagai raksasa startup dunia seperti Google dan Amazon. Belakangan ini Gojek pun disuntik dana oleh Telkomsel. Yang menarik dari telkomsel adalah saat bisnis ini masih bayi, ia disupport secara penuh oleh perusahaan induknya yaitu telkom, namun sekarang telkomsel justru yang selalu menjadi primadona pendapatan terbesar dalam grup telkom. Bahkan di tahun 2019, pendapatan telkomsel adalah sebesar 91 triliun rupiah. Pemimpin telkom saat ini sungguh sangat open mind dan progressif, karena di tahun 2020 ia menyuntikkan dana sebesar 2,1 triliun pada Gojek dan pada tahun 2021 suntikan dananya ditambah lagi sebanyak 4,35 triliun rupiah. Analisis bisnis yang sangat cemerlang oleh pimpinan telkom, karena mungkin ia mendapatkan bocoran bahwa Gojek dan Tokopedia akan merger.
Setelah kita pahami penjelasan di atas, poinnya adalah dunia sudah berubah. Era disrupsi bukan lagi jadi bahasan namun benar-benar sudah terjadi. Perilaku manusia pun sudah berubah. Dulu tukang ojek adalah raja, karena saat kita ingin membutuhkan jasanya, maka kita yang harus menghampirinya ke pangkalan ojek. Sedangkan sekarang, kita sudah merasakan perubahan perilaku sistemnya. Begitu juga dengan blockchain, salah satu produknya yang paling terkenal adalah bitcoin. Bagaimana bisa suatu komoditas tak berwujud, yang tadinya tidak punya value sama sekali, sekarang bisa tembus hingga 800 juta rupiah? Apa yang berbeda antara bitcoin dengan uang biasa sebenarnya? Karena sifat bitcoin yang desentralisasi, yaitu tidak ada penanggung jawab dan tidak ada penjamin dari pihak ketiga, maka ia akan bernilai sesuka hati di pasar. Sedangkan uang fiat/kertas dan mata uang digital lainnya masih membutuhkan pihak ketiga (seperti pemerintah) untuk menjamin kontrol peredaran uang tersebut, sehingga nilainya tidak akan berubah di pasar. Jika bitcoin nilainya terdapat pada zat bitcoinnya, sedangkan uang kertas nilainya hanya terdapat pada angka di kertas bukan pada zat kertasnya. Andai kertas itu tidak lagi dipercaya sebagai uang (sebab hyper inflasi), maka ia hanya kertas biasa, buktinya? Lihat venezuela dan zimbabwe.