Aku tertinggal
Aku melihat dia seumuranku, lebih hebat dariku, maka aku simpulkan diriku tertinggal darinya. Tapi aku menyadari bahwa permulaan hidup kita tidaklah sama, maka aku mulai beranjak, membenahi yang salah dalam diriku, kemudian melihat ia sebagai prototipe hidupku agar lebih baik. Hatiku tidak iri, aku senang, menanggapi dengan baik apa yang Tuhan beri.
Aku melihat banyak orang yang lebih sukses dariku, maka aku simpulkan diriku tertinggal darinya. Tapi aku sadar, saat kuliah ia menikmati belajar dengan baik sedangkan aku harus menghidupi roda kuliah dengan hasil gaji kerjaku. Dilema memang, aku fokus kuliah, maka tidak ada biaya. Aku fokus kerja, maka tidak ada cita-cita. Akhirnya aku sadar, aku merelakan itu dan biarkan menjadi apa adanya. Sekarang, aku mengejar ketertinggalan itu dan melampauinya. Aku bisa, aku anggap kuliah dulu adalah pemanasan atau langkah mundur agar ku bisa melompat lebih tinggi. Jika aku mengira saatnya tepat, maka ku lakukan itu dengan sepenuh hati.
Aku melihat orang yang memiliki orang tua seorang profesor, dosen, atau profesi terhormat lainnya. Kemudian Aku memutar memori saat kuliah, selepas pulang kuliah aku hendak meminta uang untuk membeli laptop pada bapakku. Beliau seorang tukang sayur di pasar. Kehendak itu aku urungkan saat melihat beliau sedang memisahkan wortel dengan tangannya yang mulai lecet. Aku bergerak untuk membantunya dan tak ku ungkapkan keinginan itu sampai hari ini. Banyak teman serius dengan masing-masing laptopnya, dan aku harus menunggu lab kosong agar mendapat giliran mencobanya.
Aku tetap bangga pada beliau. Namun aku selalu berharap, tak apa bapakku seorang tukang sayur saja. Tapi anakku nanti akan memiliki seorang ayah doktor bidang artificial intelegensia. Aku berkesimpulan, saat ku tak memiliki privilage seperti orang lain, maka ku coba untuk membuatnya dengan caraku sendiri.
Mencoba semua kemungkinan yang ada dalam hidup kita, asal sesuai aturan tidaklah mengapa. Jika orang lain beranggapan kita bukanlah apa-apa, maka buatlah diri kita menjadi apa-apa. Tak peduli setelahnya mereka berkata apa, karena pada hakikatnya kita melakukan itu semua untuk kita saja.
Tidak ada orang yang ingin berada dalam keadaan nestapa. Namun dengan pikiran yang benar adanya, tak peduli dimanapun kita berada, kita akan tetap unggul dan keluar dari lingkungan itu bagaimanapun caranya.
Jika hidup penuh konsekuensi, asalkan tidak durhaka, masuk neraka atau penjara, maka lakukan saja. Kegagalan itu banyak jenisnya. Di awal, kita akan mendapati banyaknya, tapi itu wajar saja karena pengetahuan kita belum sempurna. Semakin kita cerdas, kegagalan itu akan terkikis dan kita tentu saja bisa untuk melewatinya.
Hidup itu hanya gurauan belaka, tertawai lah penderitaan itu hingga dia kesal dan pergi begitu saja.