Saat Ku Sadar Tak Punya Bakat
Terkadang saya iri dengan orang berbakat. Dia memang usaha, tapi bakat menjadikan usahanya lebih mudah.
Contohnya ada orang berbakat musik, ia berusaha, namun dengan bakatnya, usahanya tidak sesulit dengan orang yang tak berbakat dalam musik. Ia bisa jadi expert dalam bidang yang diinginkannya.
Orang berbakat itu enak, ia sudah paham dari awal harus kemana. Ini di luar tekanan lingkungan, seperti kemiskinan, kesulitan hidup dan lain sebagainya. Anggap saja setara.
Beda halnya dengan orang tak berbakat, saya contohnya. Saya banyak tak berbakat dalam berbagai bidang. Saya baru bisa baca tulis waktu kelas 2 SD. Kelas 3 SD hampir tak naik kelas. Waktu SMA, tinggi badan cuma 150 cm. Masih inget nyari seragam bareng ibu di pasar malah dikasih buat SMP, lupa ga ngasih tau dulu kalo sy anak SMA. Dibully pula oleh guru terkait hal itu.
Saya ga berbakat dalam satu bidang pun, bahkan sampai saat ini. Saya paham bidang saya bukan karena bakat, tapi karena fokus menekuninya saja.
Karena tau saya tak berbakat, dan saya juga paham bahwa bakat adalah gift, maka saya putuskan mencari solusi selain bakat itu. Solusinya adalah belajar. Belajar saja. Saya tak peduli seberapa sulitnya saya belajar, saya akan terus belajar. Karena saya tak tau solusi lain yang bisa membuat saya sampai tujuan selain itu. Andai ada yang lebih mudah, maka saya akan pilih dengan segera. Sayangnya, tak ada.
Kita tak pernah bisa seimbang dengan orang berbakat yang belajar dan fokus di bidangnya. Ia akan menang. Namun, titik awalnya sudah beda. Dia sudah diberi skin awal, jadi tak usah dianggap perlombaan.
Intinya sejauh mana yang kita capai. Selama setiap hari ada progressnya, tak ada bakat pun, kita akan tetap menjadi lebih baik. Jika keluarga atau lingkungan tak memberi privilage, buatlah untuk diri kita sendiri.
Sistem adalah kumpulan entitas yang berkaitan untuk mencapai tujuan tertentu. Dan kita adalah entitas semesta. Agar tak tereleminasi karena dianggap tak berguna, maka usahakanlah sebaik mungkin apa yang kita bisa.