MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT
Oleh: Irwansyah Saputra, S.Kom., M.Kom.
Studi kasus: Imam Al-Ghazali dan Imam Nawawi
Imam Al – Ghazali merupakan sosok penting dalam dua bidang keilmuan, yaitu filsafat dan tasawuf. Beliau merupakan seorang filsuf muslim pada awalnya kemudian bertaubat dan menjadi seorang sufi. Tidak hanya bertaubat, bahkan beliau membuat buku untuk menentang filsafat secara keras, Tahafut Al-Falasifah walaupun buku tersebut dibantah oleh ulama dari Andalusia, Ibnu Rusyd dengan bukunya Tahafut At-Tahafut Al-Falasifah. Setelah bertaubat dari filsafat, beliau mengkaji tauhid dan fiqih secara mendalam hingga muncul beberapa karya beliau tentang manajemen qalbu dan fiqih seperti Terbebas dari Kesesatan (Al-Munqidz Minadh-Dhalal), Ihya Ulumuddin, Bidayatul Hidayah dan lainnya.
Dalam salah satu kitabnya, yaitu Bidayatul Hidayah beliau menerangkan tentang fiqih wudhu yang didalamnya terdapat doa-doa yang harus dibaca oleh orang yang sedang berwudhu. Beliau juga menambahkan anggota wudhu yang harus dibasuh yaitu leher, sebagaimana yang terlihat pada kotak merah bawah. Padahal hal tersebut tidak dicontohkan oleh Rasulullah. Lantas bagaimana tanggapan ulama lain tentang hal ini?
Hal ini diulas oleh Imam Nawawi yang dinukil perkataannya pada kitab Fathul Mu’in karya Imam Zainuddin Al-Malibari Al-Hindi (murid Imam Ibnu Hajar Al Haitami, murid imam Zakaria Al Anshori) bahwa mengusap leher saat wudhu merupakan sesuatu yang bid’ah dan hadits yang terkait dengan hal tersebut adalah hadits palsu.
Imam Al-Ghazali meninggal tahun 1111 M, sedangkan imam Nawawi meninggal tahun 1277. Andaikata imam Nawawi ingin, fatwa beliau bisa saja tidak hanya membahas bid’ahnya mengusap leher pada saat wudhu, juga menyalahkan imam Al-Ghazali tentang kebid’ahan beliau terkait masalah ini. Kenapa beliau (imam Nawawi) tidak menyebutkan nama imam Al-Ghazali saat berfatwa tentang kebid’ahan itu? Karena menjaga muru’ah dan martabat seorang muslim adalah lebih baik. Rasulullah bersabda:
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba Itu Ada 73 Pintu (Dosa). Yang Paling Ringan Adalah Semisal Dosa Seseorang Yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri. Sedangkan Riba Yang Paling Besar Adalah Apabila Seseorang MELANGGAR KEHORMATAN SAUDARANYA.”
Jadi, dari hadits diatas kita bisa belajar bahwa melanggar kehormatan saudara semuslim lebih kejam dari pada menzinai ibu kandung sendiri.
Berdasarkan kasus di atas pula kita bisa belajar bahwa perbedaan pendapat adalah suatu hal yg biasa terjadi dari dahulu. Dan para ahli ilmu menanggapinya dgn bijak. Yg suka ribut itu ya yg masih dangkal.
Referensi:
- Mustadrak Imam Al-Hakim 2/37. Sanadnya sahih dengan syarat Imam Bukhari dan Muslim walupun mereka tidak mengeluarkan hadits ini (Tafsir Ibn Katsir hal. 549)- Imam Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah halaman 32, Maktabah Syamilah- Syaikh Zainuddin Al-Malibari Al-Hindi, Fathul Mu’in halaman 54, Maktabah Syamilah