Aku Korban Pelecehan Seorang Gay

Saya mau cerita, tapi ini temanya sangat sensitif untuk dibahas di Indonesia. Jika merasa tidak nyaman, tidak usah dibaca.

Yang bercerita akan disamarkan menjadi A (lelaki) dan tidak akan disebutkan akunnya.

Entah apa dorongan si A cerita ke saya terkait pengalaman hidupnya yang menurut saya sangat berani diceritakan kepada orang lain yang tidak dekat dengannya. Namun di sisi lain, berarti dia percaya bahwa saya minimal dapat mendengarkan dengan baik. Karena banyak orang yang ingin ceritanya hanya didengarkan saja, itu sudah cukup baginya.

Beberapa tahun ke belakang, dia bekerja di salah satu perusahaan dan memiliki rekan kerja yang baik, si B. Saking baiknya, pertemanan mereka tidak hanya saat di meja kantor, melainkan di luar juga. Nonton bola dan melakukan kegiatan lainnya bersama.

Selang beberapa lama kemudian, si A main ke kostnya si B seperti biasa. Namun saat ini ada yang tak biasa. Setelah minum air yang disajikan, si A langsung merasa pusing dan tertidur seketika. Entah obat apa yang dimasukkan ke dalam air tersebut saat diminumnya.

Setelah tersadar, ia merasakan ada yang tak beres dengan perutnya dan merasakan sakit pada anusnya. Ia akhirnya menyadari bahwa ia adalah korban pemerkosaan seorang pria. Namun hal itu tidak ia ungkapkan pada siapa pun juga, karena lelaki yang di perkosa adalah hal yang tabu untuk kita, jika melapor ke polisi, mungkin bisa jadi bahan canda tawa, apa lagi jika kasus ini terungkap ke media massa, nama baik korban tidak ada yang menjaganya dan akan menjadi trauma tambahan bagi dirinya.

Karena rasa trauma itu, ia tidak ingin melihat si B bahkan walau di kantor saja. Akhirnya si A resign dari kantor lama dan pindah ke kantor baru untuk menghilangkan trauma. Sayangnya, walaupun kegiatan tersebut dilakukan saat si A tidak sadar, ternyata "rasa" itu masih melekat dan membuat si A seorang biseksual adanya.

Selama 4 bulan, jati diri berkecamuk dan merasa kotor atas apa yang telah terjadi padanya. Menangis, meratapi keadaan, tidak pernah menyangka kejadian itu akan menimpa dirinya. Namun setelah menerima dirinya, ia malah melakukan hubungan ML dengan sukarela dengan sesama. Dia yang tidak pernah terpikirkan menjadi seorang biseksual, kini harus menerima dirinya yang berubah, tidak seperti sedia kala.

Saat menyimak, saya tidak diperkenankan untuk memberikan solusi untuk masalahnya, karena ia hanya ingin didengarkan saja.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada kita nanti di suatu masa. Kita tidak bisa menebak hal itu terjadi, pada kita atau siapa pun juga.

Poinnya adalah ketika kita merasa diri baik-baik saja kemudian membuat lelucon terkait sesuatu yang tidak kita rasakan sebagai manusia biasa, seperti stress, gila, homo, gay, autis dan sebagainya, bagi kita mungkin lelucon itu biasa saja, tapi ternyata bisa jadi menyakiti orang yang merasakannya. Sejak saat itu pun, saya berjanji untuk tidak lagi membuat lelucon terkait hal-hal itu semua.

Andai disuruh memilih, si A tidak akan memilih jalan tersebut pastinya. Namun saya juga tidak membenarkan atas apa yang dia lakukan setelahnya, itu urusan pribadinya.

Kesadaran kita sendirilah yang harus dibangun lebih baik dengan segera, agar diri kita bisa lebih bersimpati dan empati terhadap lingkungan bahkan yang tak pernah kita rasakan sebelumnya.

Selain cerita ini, sebenarnya ada beberapa cerita mirip yang datang pada saya. Bahkan saya harus mendengarkan dan menunggu tangisan orang tersebut selesai hingga menghela. Sesaknya menandakan betapa lama ia menyimpan semua itu dalam kesendiriannya.

Tidak semua orang seberuntung kita.