Maaf

Rumput menancap tanpa izin. Merambat selalu mengepung taman eden tak berubin. Tertutupi udara yang mengembun dan menyelimuti sebab dingin. Ku temukan ia dalam gelapnya malam tanpa lilin.

Hijaunya cerah tersingkap fajar merah. Diiringi senandu kicau burung di atap rumah. Pagi itu ia berani dan gagah. Memperlihatkan kilauan warnanya yang indah.

Seketika ku buka jendela menelisik kembali. Ternyata ia masih di sana dengan cerah yang pasti. Ku tergesa menghampiri karena ingin menikmati. Lupa tak sengaja ku injak ia karena kecerobohan ini.

Aku sukar melihatnya di sana. Ternyata sudah hancur karena nafsu yang fana. Ia hidup dengan fisiknya. Namun tak lagi dengan hatinya yang kecewa.

Sulit kembali membawanya pulang. Ia trauma dengan segala yang datang. Tak ada lagi yang ditunggu baik siang maupun petang. Karena perasaannya sudah hancur dengan matang.

Entah bagaimana memulainya lagi. Ia diam tak bergeming tanpa peduli. Tak mau lagi percaya kata yang didustai. Memang sepatutnya ia menahan diri.

Tapi maaf akan selalu ada. Berkalam dari lisan yang penuh dosa. Menunggu pintu itu kembali terbuka. Mencoba kembali menata ruang hati yang dilema.